Urgensi Pengaturan Vonis Korupsi

     

    Urgensi Pengaturan Vonis Korupsi*

     

    *Helmi Chandra, SY, S.H.,M.H

    Dosen dan Peneliti Bung Hatta Anti Korupsi (BHAKTI)

    Fakultas Hukum Universitas Bung Hatta

     

    Ketiadaan pedoman pemidanaan dalam menjatuhkan vonis terhadap perkara korupsi membuat hakim seakan cenderung hanya menggunakan feeling dalam menjatuhkan hukuman yang tepat bagi terdakwa. Akibatnya, ketiadaan pedoman pemidanaan ini memunculkan banyak pertanyaan tentang apa landasan perhitungan hakim dalam menghukum seorang terdakwa? Apalagi, dalam penjatuhan hukuman bagi pelaku tindak pidana korupsi dipengaruhi oleh beberapa variabel seperti lamanya pidana penjara, denda pidana, penjatuhan uang pengganti dan pidana tambahan lain seperti pencabutan hak politik.

    Kondisi yang sudah berlangsung lama ini akhirnya dijawab oleh Mahkamah Agung (MA) sebagai institusi tertinggi penanggung jawab vonis hakim dengan mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Pedoman Pemidanaan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang telah diundangkan pada tanggal 24 Juli 2020 yang lalu. Respon MA untuk memberikan rambu-rambu bagi para hakim tidak pidana korupsi ini tentu menuai berbagai pro dan kontra terutama soal kekhawatiran adanya intervensi terhadap independensi hakim. Namun menurut penulis setidaknya ada 3 (tiga) alasan pentingnya mengapa pengaturan vonis hakim bagi pelaku tindak pidana korupsi perlu ada.

    Pertama, mencegah terjadinya disparitas putusan hakim, menurut Allan Manson dalam bukunya The Law of Sentencing menjelaskan bahwa disparitas merupakan ketidaksetaraan hukuman antara kejahatan yang serupa (same offence) dalam kondisi atau situasi serupa (comparable circumstances). Disparitas pemidanaan perkara korupsi bisa dipahami dengan melihat sebuah kasus korupsi yang sama dengan hukuman yang ringan namun pada pelaku lain dijatuhi hukuman berat.

    Terjadinya disparitas pidana dalam perkara tindak pidana korupsi membawa problematika tersendiri dalam penegakan hukum khususnya pemberantasan korupsi di Indonesia. Di satu sisi perbedaan pemidanaan yang mencolok atau disparitas pidana merupakan bentuk dari kebebasan hakim dalam menjatuhkan putusan, sebagaimana termaktub dalam Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.

    Namun, di sisi lain pemidanaan yang berbeda atau disparitas pidana ini membawa ketidakpuasan bagi terpidana bahkan masyarakat pada umumnya. Setidaknya dari 106 terdakwa korupsi yang dituntut dengan Pasal 2 UU Tipikor sepanjang tahun 2011-2015 terdapat perbedaan hukuman dimana terdakwa yang merugikan negara antara Rp.3,25 miliar hingga Rp.3,5 miliar dipenjara paling tinggi rata-rata 120 bulan. Sementara terdakwa yang merugikan negara lebih dari Rp.5 miliar hanya dijatuhi hukuman rata-rata 67,71 bulan saja (kompas.com). Hal ini tentu munculnya kecemburuan sosial dan pandangan negatif masyarakat pada institusi peradilan, yang kemudian diwujudkan dalam bentuk ketidakpedulian pada penegakan hukum dalam masyarakat yang berakibatkan pada berkurangnya semangat bersama dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.

    Untuk itulah, maka dalam Pasal 6 Perma 1 tahun 2020 diatur tentang empat kategori kerugian negara dalam tindak pidana korupsi. Kategori paling berat adalah kerugian negara di atas Rp.100 miliar, kategori berat kerugian di atas Rp.25 miliar, kategori sedang lebih dari Rp.1 miliar-Rp.25 miliar, kategori ringan di atas Rp.200juta-Rp. 1 miliar dan kategori paling ringan di bawah Rp.200 juta. Pengaturan ini setidaknya memberi pedoman kepada para hakim untuk menjatuhkan hukuman yang seimbang dengan kerugian negara yang ditimbulkan oleh pelaku korupsi sehingga diharapkan dapat menekan disparitas perkara yang memiliki karakter serupa. Hal ini juga sejalan dangan ketentuan UU Tipikor yang secara umum menentukan Pasal 2 ditujukan secara luas bagi pelaku korupsi terkait kerugian negara.

    Kedua, sebagai efek jera bagi koruptor, sejatinya tindak pidana korupsi yang meluas, masif, dan sistematis merupakan bentuk pelanggaran terhadap hak sosial dan hak ekonomi masyarakat sehingga tindak pidana korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa, tetapi telah menjadi suatu kejahatan luar biasa. Begitupun dalam upaya penanggulangannya, tidak lagi dapat dilakukan secara biasa, tetapi dituntut cara-cara  yang luar  biasa (extra ordinary). Namun pada praktiknya upaya pemberantasan korupsi tidak memberikan hasil yang maksimal karena disebabkan salah satunya oleh hukuman ringan bagi pelaku korupsi sehingga tidak memberikan sedikitpun efek jera.

    Tidak adanya efek jera dari vonis hakim membuat perkembangan praktek korupsi dari tahun ke tahun semakin meningkat. Hal ini dapat dilihat dari data laporan tahunan KPK tahun 2019, terdapat putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht) mengalami peningkatan disetiap tahunnya mulai dari tahun 2015 dengan 27 kasus, 2016 dengan 70 kasus, 2017 dengan 84 kasus, 2018 dengan 106 kasus dan 2019 sebanyak 142 kasus. Padahal pemidanaan dalam UU Tipikor sejatinya bertujuan memberikan penjeraan serta mengembalikan keuangan negara yang timbul dari kasus korupsi.

    Agar memberikan efek jera itulah, maka Pasal 17 Perma 1 tahun 2020 diatur dalam hal tindak pidana korupsi yang dilakukan dalam keadaan tertentu sesuai Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor maka dapat dijatuhi hukuman mati. Ketentuan ini semakin memperkuat para hakim untuk dapat menjatuhkan hukuman maksimal bagi kejahatan korupsi yang memiliki tingkat kesalahan, dampak dan keuntungan yang tinggi dari pelaku korupsi.

    Ketiga, wujud keadilan dan kepastian hukum, memberikan vonis yang sesuai dengan kejahatan pelaku korupsi merupakan wujud keadilan yang bisa diberikan negara kepada masyarakat sebagai korban korupsi. Sebaliknya, menjatuhkan hukuman yang tidak setara atau disparitas semakin menunjukkan adanya persoalan serius pada para hakim dan pengadilan Tipikor karena mengabaikan rasa keadilan masyarakat. Maka Perma 1 tahun 2020 mencoba menjawab permasalahan itu dengan memberikan pedoman bagi para hakim agar menjatuhkan hukuman sesuai dengan besaran kerugian negara dan dampak korupsi yang ditimbukaan serta dapat memberikan keadilan serta kepastian hukum bagi pelaku tindak pidana korupsi.

    Tujuan untuk menciptakan keadilan dan kepastian hukum juga terkonfirmasi dalam konsideran menimbang Perma 1 tahun 2020 yang menyebutkan bahwa setiap penjatuhan pidana harus dilakukan dengan memperhatikan kepastian dan proporsionalitas pemidanaan untuk mewujudkan keadilan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Menurut Plato (428-348 SM) bahwa negara ideal apabila didasarkan atas keadilan, dan keadilan baginya adalah keseimbangan serta harmoni, dimana warga negara hidup sejalan dan serasi dengan tujuan negara. Hal ini senada dengan yang dikatakan oleh Gustav Radbruch dalam ajaran cita hukumnya (idee des recht) bahwa hukum dalam pencapaiannya tidak boleh lepas dari keadilan, kepastian dan kemanfaatan sebagai sebuah tujuan. Eksistensi hukum yang dimaksud ialah baik hukum yang bersifat pasif dari peraturan perundang-undangan maupun bersifat aktif dari sebuah proses peradilan.

    Artikel ini telah diterbitkan pada kolom opini harian Padang Ekspres Jumat 14 Agustus 2020.

    Kontak Kami

    Address: Kampus Proklamator II, Jl. Bagindo Aziz Chan By Pass Aie Pacah Padang.

    Phone: 0751-463250

    Tax: 0751-7055475.

    Email: rektorat@bunghatta.ac.id

    Website:hukum.bunghatta.ac.id

    Pengunjung

    Today549
    Yesterday1030
    This week5500
    This month24364
    Total683122

    Who Is Online

    13
    Online

    28-03-2024
    © Fakultas Hukum Universitas Bung Hatta. All Rights Reserved.